- Mengutip dari catatan salah satu Aktivis pejuang HAM pigur yang gigih dan pemberani selalu menyuarakan kebenaran Pantang mundur sebelum menang Natalius Pigai..
Pemimpin Ambisius Selalu Kobarkan Perang “Ngluruk Tanpo Bolo, Menang Tanpo Ngasorake, Sekti Tanpo Aji-Aji”.
Menurut Natalius, dalam ilmu polemologi mengajarkan kita perang untuk damai dan damai juga bisa capai melalui perang. Ahli polemologi Finlandia Jhon Galtung memberi batasan yang jelas bahwa jika terjadi perang maka ada Karena kesenjangan antara realitas dan idealisasi.
Lantas, bagaimana jika perang tersebut dikobarkan oleh orang yang berkuasa, penguasa tertinggi negara atas politik, hukum dan semua instrumen negara? apalagi mengobarkan semangat perang dan agitasi perang untuk saling terkam antara rakyat dinegeri yang dipimpinnya ini'
Seperti, Agitasi Hitler di Jerman bukan untuk merebut kekuasaan tetapi mempertahan kan harga diri Bumiputera, mengusir bangsa Yahudi untuk mempertahan kan bangsa Prusia. Rusia dengan segala macam ideologi komunismenya termasuk rekonstruksi negara Rusia oleh Mikhail Gorbachev melalui perestroika, glasnost dan demokratizia hanya berjuang untuk mempertahankan bangsa Rusia dengan menguasai 14 negara di timur Baltik, Asia Tengah dan 3 negara di kaukasus selatan. Semua demi harga diri bangsa Rusia. terangnya",
“Meskipun akhirnya pecah di tahun 1991. Revolusi Perancis dan restorasi Meiji di Jepang adalah perang karena ekonomi dan mempertahankan harga diri bangsa dari penetrasi kapital asing. Hampir semua negara di daerah jajahan berperang melawan penjajah untuk mempertahan kan bangsanya dari kolonialisme dan imperialisme. Bangsa Indonesia berbudaya perang dan berperang hanya untuk menyelesaikan soal dan mempertahankan harga diri.
Mengapa Pemimpin di negeri ini mengobarkan perang, tidak ada landas konstitusi, tidak ada landas ilmu pengetahuan modern tentang perang dan damai. Tentu saja para pemimpin kita terinspirasi dari jatuh bangunnya kerajaan-kerajaan di Jawa yang memang penuh dengan intriq dan rebutan kekuasaan. Berdirinya kerajaan Mataram oleh Masa Karebet alias Joko Tingkir atawa Panembahan Senopati adalah pemberian tanah Alas Meo setelah ayahnya Pemanahan membantu Hadiwijowo di Demak melawan kerajaan Majapahit.
Panembahan Senopati menjadi raja pertama setelah menumpas Arya Penangsang. Dalam mitologi Jawa, jauh sebelum kerajaan Mataram, penaklukan negara Alengka oleh Rama Wijaya menumpas Rahwana dan adiknya kumbakarna. Hanoman didapuk oleh raja sebagai seorang patih karena membantu Rama. Meskipun Hanoman adalah seorang pengkhianat negeri Alengka dan Sang Rahwana.
Belum lagi pecahnya kerajaan Mataram melalui perjanjian Giyanti karena nenek moyang orang Solo lebih kerjasama dengan Belanda dan kolonial dari pada Raja Mataram Jogja yang patriotik dan nasionalis. Seharusnya Arya Mangkunegara menjadi Raja sebagai penerus Amangkurat IV, namun karena sering menentang Penjajah Belanda akhirnya diasingkan ke Srilangka. Belanda mendorong Prabuyasa yang bermental inlander, patuh pada penguasa Belanda melanjutkan tata kerjaan di Surakarta.
Kisah terakhir kita saksikan konflik perebutan takhta di Mangkunegaran dan instrik di balik pewaris kerajaan Mataram Yogya sampai Sultan Hamengkubuwono keluarkan Sabda Raja.
Berbagai cerita intrik dan perang melahirkan Tahta telah menginspirasi para pemimpin untuk merebut tahta di Republik tercinta ini. Jadi apa yang dipertontonkan oleh pemimpin di negeri ini juga tidak begitu saja lahir dan jatuh dari langit, tetapi ada akar historisnya dan ironisnya taktik perebutan Kekuasan yang sedang dipakai saat ini juga patut diduga bersumber inspirasi perebutan tahta di kerajaan-kerajaan di Jawa.
Pemimpin mengambil keputusan perang adalah pemimpin yang memang haus akan kekuasaan. Pemimpin yang berkeinginan untuk perang itu biasanya memang punya tujuan untuk merebut kekuasaan atau melanggengkan kekuasaan.
Selain haus akan kekuasaan, pemimpin yang secara terang-terangan mendeklarasikan perang di hadapan rakyatnya jelas membuktikan bahwa dirinya adalah pribadi yang ambisius.
Perang dalam ilmu polemologi sendiri tidak hanya berwujud perang fisik melainkan perang non fisik. Non fisik itu suatu tindakan atau kekerasan verbal dan itu yang paling bertentangan dengan hukum karena agitasi, propaganda atau hate speech yang isinya menyerang individu dan rakyatnya sendiri. Oleh karena itu kita harus perang ilmu dan perang ilmu melawan nalar dan logika yang salah.
Perang melawan logika yang salah untuk melahirkan pemimpin berwibawa, pemimpin punya yang punya nilai, karakter. Rebutlah tampuk mahkota secara gentelmen sebagaimana ajaran nenek moyang “Ngluruk Tanpo Bolo, Menang Tanpo Ngasorake, Sakti Tanpo Aji-Aji”. Bermain tanpa bola, menang tanpa mengalahkan lawan. Berwibawa tanpa menggunakan kekuasaan.
Catatan :
Jumat 12 Oktober 2018, Inilah yang terjadi Dibangsa ini dan saat ini, tutupnya". Penulis Natalius Pigai, Kritikus : Aktivis Kemanusiaan tinggal Yogya, Solo dan Jakarta.
Editing : roni
Posting Komentar